LAPORAN KUNJUNGAN MUSEUM DAN STUDI LAPANGAN PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR UNIVERSITAS WIDYA GAMA MAHAKAM
SAMARINDA DI MUSEUM MULAWARMAN DAN
MUSEUM KAYU TENGGARONG KALIMANTAN TIMUR
Di Susun oleh :
Kelompok 3
1. Fiqi Aulia Rahman (1886206001)
2. Suardi (1886206059)
3. Ade Frederich (1886206006)
4. Ni Luh Widiasih (1886206006)
5. Destianti Catur Lia (1886206006)
6. Fransiska Carolina (1886206006)
7. Tatit Alma Putri (1886206006)
Pendidikan
Guru Sekolah Dasar
Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas
Widya Gama Mahakam Samarinda
2019
Kata
Pengantar
Puji syukur kami
panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas taufik dan hidayah-Nya, kami bisa
menyusun Laporan ini dengan baik.Sebagai tanda bukti bahwa kami telah
mengunjungi obyek-obyek penelitian dan studi lapangan di Museum Mulawarman dan
Museum Kayu Tenggarong.
walaupun
masih banyak kekurangan, kejanggalan kata-kata, kekeliruan dan hambatan.
Laporan
ini kami buat berdasarkan penelitian pembelajaran Sejarah Mahasiswa PGSD
Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda Tahun ajaran 2017/2018. Laporan ini
menaruh perhatian yang besar terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Laporan
ini berisi tentang sejarah – sejarah yang ada di Tenggarong . Dengan adanya
laporan ini kami sebagai penyusun berharap, para pembaca bisa mengetahui tempat
sejarah yang masih dilestarikan. Laporan ini di sajikan secara sistematis dan
di sertai dengan gambar-gambar yang relevan, sehingga mempermudah pembaca untuk
mempelajarinya atau memahaminya.
Kami menyadari
sepenuhnya bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami berharap
kepada semua pihak dan pembaca untuk memberikan saran dan kritik yang bersifat
membangun demi perbaikan lebih lanjut. Demikian laporan ini kami buat semoga
bermanfaat bagi semua pihak
Rumusan Masalah
1. Sejarah
Kapan Berdirinya kerajaan Kutai Martadipura
2. Sistem
Kehidupan Kerajaan Kutai Martadipura
3. Runtuhnya
Kerjaan Kutai Martadipura
4. Berdirinya
Kerajaan Kutai Kartanegara/ Kesultanan Kutai Kartanegara
5. Berakhirnya
Kesultanan Kutai Kartanegara
6. Dihidupkannnya
Kembali Kesultanan Kutai Kartanegara
7. Sejarah
Museum Mulawarman
8. Balai
Kedaton Kesultanan Kutai Kartanegara
9. Gelar
Bangsawan di Kesultanan Kutai Kartanegara
10. Bagaimana
Silsilah Kerajaan Kutai
11. Apa
itu mahluk tunggangan secepat kilat
12. Apa
itu Lembuswana
13. Bagaimana
Sejarah Lembuswana
14. Bagaimana
Misteri Lembuswana
15. Bagaimana
Sejarah Pembuatan patung Lembuswana
16. Apa
Saja Benda Koleksi dan peninggalan Kerajaan yang ada di Museum Mulawarman
17. Apa
Itu Museum kayu Tuah Himba
18. Apa
saja yang ada di Museum Kayu Tauah Himba
Tujuan
Penelitian
Tujuan
penelitian yang kami lakukan di museum Mulawarman tenggarong yaitu: Supaya kami
dapat melihat langsung sejarah prasasti, dan benda – benda peninggalan para
Raja Kutai Kartanegara yang masih dilestarikan di Museum Mulawarman tenggarong,
sehingga kami dapat menjadikanya sebagai bahan pelajaran yang sungguh nyata
(ada bukti) ataupun cerita bagi mereka yang belum pernah mendengar tentang
sejarah, benda – benda yang ada di Museum Mulawarman Tenggarong Kalimantan Timur adapun Tujuan Studi di Museum
Kayu adalah mengenal jenis kayu yang ada pada zaman dulu dan yang paling
terkenal adalah kayu ulin yang merupakn ciri khas dan kayu ini hanya trdapat di
Pulau Kalimantan dan di Museum ini terdapat Kerajianan perabot rumah tangga
dari kayu dan rotan dan ada juga alat musik tradisional kalimantan seperti
sape,gambus dan masih banyak lagi serta ada ukiran patung yang terbuat dari
batang kayu, sehingga kami dapat menjadikan sebagai bahan edukasi yang nyata
dan memperkenalkan kepada orang yang belum pernah mendengar dan kami memberikan
tayangan video agar lebih jelas dan sekaligus memperkenalkan Museum Kayu
tersebut.
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kutai
(Kutai Martadipura) merupakan salah satu kerajaan Hindu tertua di Indonesia.
Berdiri sekitar abad ke-4, kerajaan ini berlokasi di daerah Kutai, Kalimantan
Timur. pusat pemerintahannya di perkirakan di hulu sungai mahakam dengan
wilayah meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur.
Bukti arkeologis
tentang keberadaan Kerajaan ini adalah temuan prasasti yang di tulis di atas
tujuh buah yupa (tugu batu) antara tahun 1879 dan 1940 di daerah hulu Sungai
Mahakam. Prasasti tersebut di tulis dengan huruf Pallawa (huruf yang banyak di
gunakan di wilayah India Selatan) dan berbahasa Sansekerta.Dari salah satu yupa
tersebut di ketahui Raja yang memerintah Kerajaan Kutai saat itu adalah
Mulwarman. Namanya di catat dalam yupa karena kedermawanannya menyeddekahkan
20.000 ekor sapi kepada kaum Brahmana. Jadi, ketujuh yupa itu di buat oleh
Brahmana
Prasasti-prasasti tersebut
tidak memiliki angka tahun, namun gaya bahasa dan ciri tulisan dalam
prasasti tersebut banyak di gunakan di india sekitar abad ke-4 M. Nama Kudungga
yang menurut para sejarawan merupakan nama asli Indonesia. Disebutkan pula,
Kudungga mempunyai putra yang bernama Aswawarman, yang disebut-sebut sebagai
pendiri Dinasti. Aswawarmman memiliki putra yang bernama Mulawarman. Dua nama
terakhir jelas menggunakan bahasa Sanskerta, yang menunjukan raja-raja Kutai
adalah bangsa Indonesia asli yang memeluk Agama Hindu.
Kerajaan
Kutai Martadipura berakhir setelah kematian raja Kutai yang bernama Maharaja
Dharma Setia tewas dalam peperangan dengan kerajaan Kutai Kartanegara di bawah
pimpinan raja Aji Pangeran Anum panji Mendapa. Perlu digarisbawahi adalah,
kerajaan Kutai Martadipura tidaklah sama dengan kerajaan Kutai Kertanegara.
Kerajaan Kutai Kertanegara merupakan kerajaan yang ibu kotanya berada di Kutai
Lama (Tanjung Kute). Kerajaan Kutai Kertanegara inilah yang dalam sastra jawa
pada tahun 1365, disebut dengan Negarakertagama. Kerajaan Kutai Martadipura
sampai akhirnya tetap menjadi kerajaan bercorak Hindu, sedangkan kerajaan Kutai
Kertanegara selanjutnya menjadi kerajaan Islam yang disebut dengan Kesultanan
Kutai Kertanegara.
Museum
Mulawarman adalah istana dari Kesultanan Kutai Kartanegara dibangun pada tahun
1963 sebagai pengganti Istana sebelumnya yang terbakar dan diresmikan pada
tanggal 25 November 1971 oleh Gubernur Abdoel Wahab Sjahranie, lalu
diserahterimakan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 18
Februari 1976. Kini telah dibangun Balai Kedaton sebagai tempat kediaman Sultan
Aji Muhammad Salehuddin II yang telah dinobatkan kembali pada tahun 2002. Di
dalam lingkungan Istana kesultanan terdapat pemakaman keluarga kerabat Kerajaan
Kutai Kartanegara serta Masjid Jami' Aji Amir Hasanuddin sebagai saksi masuknya
Islam di Kutai.
Museum
yang sebelumnya adalah bangunan Keraton Kesultanan Kutai Kartanegara ini
didirikan pada tahun 1932 oleh Pemerintah Belanda yang menyerahkan Keraton
kepada Sultan Adji Muhammad Parikesit pada tahun 1935. Bahan bangunannya
didominasi oleh beton mulai dari ruang bawah tanah, lantai, dinding, penyekat
hingga atap. Di halaman depan Museum terdapat duplikat Patung Lembuswana yang
merupakan lambang Kerajaan Kutai Kartanegara. Arsitektur dari museum ini
mengadopsi dari arsitektur tradisional Suku Dayak yang ada di Kutai.
Di
dalam Museum Mulawarman tersimpan benda-benda sejarah yang pernah digunakan
oleh Kesultanan seperti Singgasana, Tempat Peraduan, Pakaian Kebesaran, Tombak,
Keris, Meriam, Kalung dan Prasasti Yupa serta Koleksi Keramik Cina. Setiap
tahun dilaksanakan Upacara Erau, yaitu tarian Khas Kedaton Upacara Adat dan
Mengulur Naga di Desa Kutai Lama. Dimana pada setiap pelaksanaan Erau juga
ditampilkan atraksi Seni Budaya baik berupa Tarian Tradisional dan Upara Adat
dari berbagai Suku lainnya di Indonesia serta mancanegara.
Museum
Mulawarman terdiri dari dua lantai. Di lantai bawah terdapat koleksi keramik
Cina. sedangkan lantai 1 berisi koleksi peninggalan bercorak kesenian. Di
belakang museum, pengunjung bisa berbelanja cenderamata khas budaya Dayak, batu
perhiasan, maupun cendera mata lainnya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Berdirinya Kerajaan Kutai
(Martadipura)
Kerajaan Kutai
(Martadipura) adalah kerajaan Hindu tertua di Indonesia. Kerajaan ini
diperkirakan terbnetuk pada abad ke 5 M atau sekitar tahun 400 M. kerajaan ini
terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur, dekat kota Tenggarong, atau tepatnya
di hulu sungai Mahakam. Sebenarnya, nama Kutai itu sendiri diambil dari nama
tempat ditemukannya prasasti yang menceritakan tentang kerajaan itu sendiri.
Tidak ada bukti sejarah maupun prasasti yang menyebutkan secara pasti tentang
nama dari kerajaan ini.
Keberadaan kerajaan
Kutai itu sendiri diketahui berdasarkan penemuan bukti sejarah berupa prasasti
yang berbentuk yupa dengan jumlah 7 buah. Di dalam yupa tersebut, menceritakan
tentang berbagai aspek kehidupan yang terjadi semasa kerajaan Kutai, seperti
aspek politik, sosial, ekonomi, dan juga budaya. Adapun isi dari prasasti
tersebut ialah
“Sang Mahārāja
Kundungga, yang amat mulia, mempunyai putra yang mashur, Sang Aśwawarman
namanya, yang seperti Angśuman (dewa Matahari) menumbuhkan keluarga yang sangat
mulia. Sang Aśwawarman mempunyai putra tiga, seperti api (yang suci). Yang
terkemuka dari ketiga putra itu ialah Sang Mūlawarman, raja yang berperadaban
baik, kuat, dan kuasa. Sang Mūlawarman telah mengadakan kenduri (selamatan yang
dinamakan) emas amat banyak. Untuk peringatan kenduri (selamatan) itulah tugu
batu ini didirikan oleh para brahmana”.
Dari isi prasasti
tersebut dapat kita simpulkan bahwa raja pertama yang memimpin Kutai adalah
seorang yang bernama Kudungga. Raja tersebut memiliki seorang anak yang bernama
Asawarman atau juga dikenal dengan Wamsakerta (pembentuk keluarga). Setelah
turun tahta, Asawarman digantikan oleh salah satu dari tiga anaknya yang
bernama Mulawarman dan sampai 27
generasi kerajaaan kutai Mulawarman yaitu : Kudungga, Asmawarman, Mulawarman,
Sri Warman, Mara Wijaya Warman, Gayayana Warman, Wijaya Tungga Warman, Jaya
Naga Warman, Nala Singa Warman, Nala Perana Warmana Dewa, Galingga Warman Dewa,
Indara Warman Dewa, Sangga Wirama Dewa, Singa Wargala Warmana Dewa, Candra
Warmana, Prabu Mulia Tungga Dewa, Nala Indra Dewa, Indra Mulia Warmana Tungga,
Srilangka Dewa, Guna Perana Tungga, Wijaya Warman, Indra Mulia, Sri Aji Dewa,
Mulia Putera, Nala Pendita, Indra Paruta Dewa, dan Darma Setia.
Penggunaan nama
Asawarman dan juga nama-nama raja sesudahnya membuktikan bahwa kerajaan Kutai
telah masuk ke dalam kepercayaan Hindu pada saat itu, dan juga raja-raja
tersebut merupakan orang asli Indonesia yang telah memeluk agama Hindu.
B. SISTEM
KEHIDUPAN KERAJAAN KUTAI MARTADIPURA
1.
Sistem Politik
Seperti yang telah
dijelaskan dalam prasasti/yupa di atas, raja pertama kerajaan Kutai bernama
Kudungga yang memiliki seorang anak bernama Asawarman. Asawarman mewarisi tahta
kepada Mulawarman yang merupakan raja terbesar di kerajaan Kutai. Asawarman
juga sering disebut dengan Dewa Ansuman (Dewa Matahari) dan dipandang sebagai
Wangsakerta (pendiri keluarga raja). Raja-raja yang pernah memimpin kerajaan
Kutai adalah sebagai berikut :
1) Maharaja Kudungga
Kudungga adlaah raja
pertama yang memimpin kerajaan Kutai. Sebenarnya, nama Kudungga ditafsirkan
oleh para ahli merupakan nama asli orang Indonesia yang belum terpengaruh
dengan kebudayaan Hindu (India). Itu berarti, Kudungga pada awalnya adalah
seorang kepala suku. Namun di tengah kepemimpinannya, masuklah ajaran agama
Hindu dan Kudungga menjadikan daerah kekuasaannya menjadi sistem pemerintahan
dan mengangkat dirinya sendiri menjadi raja. Lalu, pergantian raja-raja di
kerajaan Kutai dilakukan secara turun temurun.
2) Maharaja Asawarman
Raja Asawarman di
dalam prasasti yupa diceritakan sebagai seorang raja yang kuat dan juga cakap.
Di masa pemerintahannya, daerah kekuasaan kerajaan Kutai diperluas dengan
sebuah upacara yang dinamakan dengan Asmawedha. Upacara Asmawedha sendiri
pernah dilakukan di India pada saat pemerintahan Samudragupta ketika ingin
memperluas daerahnya. Dalam upacara tersebut diadakan sebuah ritual pelepasan
kuda dengan tujuan untuk menentukan tapal batas kekuasaan yang ditandai dengan
tapak kaki kuda yang palik akhir. Pelepasan kuda-kuda tersebut diikuti oleh
para prajurit kerajaan Kutai.
3) Maharaja Mulawarman
Raja Mulawarman
merupakan raja terbesar dan termasyur di kerajaan Kutai. Pada masa
pemerintahannya, kerajaa Kutai mengalami masa kejayaan. Rakyat-rakyatnya hidup
aman, sejahtera dan tentram. Hal ini ditandai dengan diadakannya kenduri oleh
raja Mulawarman dengan menyedekahkan 20.000 ekor sapi kepada kaum brahmana di
sebuah tanah suci yang bernama Waprakeswara.
2.
Sistem Ekonomi
Mata pencaharain yang
utama bagi masyarakat kerajaan Kutai adalah beternak sapi. Selain itu, bercocok
tanam dan juga berdagang juga merupakan mata pencaharian mereka. Hal ini dapat
dibuktikan dengan letak kerajaan Kutai yang dekat dengan sungai Mahakam
sehingga cocok untuk dijadikan sebagai tempat bercocok tanam. Selain itu,
kerajaan Kutai juga terletak di jalur perdagangan antara Cina dan India
sehingga sangat menguntungkan masyarakatnya untuk berdagang.
3. Sistem Sosial
Menurut
prasasti-prasasti yang telah ditemukan dan diterjemahkan oleh para ahli, dapat
disimpulkan bahwa masyarakat kerajaan Kutai pada saat itu adalah tertata,
tertib dan juga teratur. Selain itu, masyarakatnya juga cepat beradaptasi
dengan budaya luar khususnya India dengan tetap memegang teguh budaya lokal.
4. Sistem Budaya
Dapat dikatakan
bahwasanya kehidupan budaya masyarakat kerajaan Kutai sudah maju. Hal ini
ditandai dengan seringnya diadakan upacara penghinduan (pemberkatan pemeluk
agama Hindu) yang dikenal dengan sebutan Vratyastoma. Upacara ini diperkirakan
mulai dipraktekkan pada masa pemerintahan raja Asawarman, dikarenakan pada saat
raja Kudungga, beliau masih mempertahankan budaya lokal dengan sangat kuat.
Pemimpin upacara pemberkatan ini langsung oleh para kaum Brahmana dari India.
Akan tetapi, pada
masa pemerintahan raja Mulawarman, kuat sekali kemungkinan pemimpin upacara
pemberkatan ini ialah kaum Brahmana yang merupakan orang Indonesia asli. Adanya
kaum Brahmana yang berasal dari Indonesia asli menandakan bahwa masyarakat
kerajaan Kutai sudah mampu menguasai bahasa Sansakerta yang merupakan bahasa
keagamaan agama Hindu.
C. Runtuhnya Kerjaan Kutai Martadipura
Kerajaan
Kutai Martadipura berakhir setelah kematian raja Kutai yang bernama Maharaja
Dharma Setia tewas dalam peperangan dengan kerajaan Kutai Kartanegara di bawah
pimpinan raja Aji Pangeran Anum panji Mendapa. Perlu digarisbawahi adalah, kerajaan
Kutai Martadipura tidaklah sama dengan kerajaan Kutai Kertanegara. Kerajaan
Kutai Kertanegara merupakan kerajaan yang ibu kotanya berada di Kutai Lama
(Tanjung Kute). Kerajaan Kutai Kertanegara inilah yang dalam sastra jawa pada
tahun 1365, disebut dengan Negarakertagama. Kerajaan Kutai Martadipura sampai
akhirnya tetap menjadi kerajaan bercorak Hindu, sedangkan kerajaan Kutai
Kertanegara selanjutnya menjadi kerajaan Islam yang disebut dengan Kesultanan
Kutai Kertanegara.
D. Berdirinya Kerajaan Kutai Kartanegara/
Kesultanan Kutai Kartanegara
Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri
pada awal abad ke-13 di daerah yang bernama Tepian Batu atau Kutai Lama (kini
menjadi sebuah desa di wilayah Kecamatan Anggana) dengan rajanya yang pertama
yakni Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325). Kerajaan ini disebut dengan nama
Kerajaan Tanjung Kute dalam Kakawin Nagarakretagama (1365), yaitu salah satu
daerah taklukan di negara bagian Pulau Tanjungnagara oleh Patih Gajah Mada dari
Majapahit.
Lambang Kesultanan Kutai Kartanegara dalam versi lain.
Pada abad ke-16, Kerajaan Kutai
Kartanegara di bawah pimpinan raja Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil
menaklukkan Kerajaan Kutai (atau disebut pula: Kerajaan Kutai Martadipura atau
Kerajaan Kutai Martapura atau Kerajaan Mulawarman) yang terletak di Muara
Kaman. Raja Kutai Kartanegara pun kemudian menamakan kerajaannya menjadi
Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura sebagai peleburan antara dua
kerajaan tersebut.
Pada abad ke-17, agama Islam yang
disebarkan Tuan Tunggang Parangan diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai
Kartanegara yang saat itu dipimpin Aji Raja Mahkota Mulia Alam. Setelah
beberapa puluh tahun, sebutan Raja diganti dengan sebutan Sultan. Sultan Aji
Muhammad Idris (1735-1778) merupakan sultan Kutai Kartanegara pertama yang
menggunakan nama Islami. Dan kemudian sebutan kerajaan pun berganti menjadi
Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura
E. Berakhirnya Kesultanan Kutai
Kartanegara
Pada masa Aji Muhammad Parkesit
(1920-1960). Pada masa selanjutnya, kekuasaan politik dan ekonomi Kesultanan
secara berangsur-angsur dan sistematis dipangkas oleh pemerintah kolonial
Hindia-Belanda dan Pendudukan Jepang melalui serangkaian perjanjian, pemberian
hak monopoli dagang, maupun pemberian hak penarikan pajak dan cukai. Demikian pula pada masa kemerdekaan RI,
kedudukan Kutai Kartanegara turun tingkatannya atau hilang sama sekali, secara
bertahap dari kesultanan menjadi Daerah Istimewa, lalu sebagai Daerah Swapraja,
dan akhirnya sebagai Kabupaten dengan wilayah yang lebih sempit dari pada
sebelumnya.Sultan beserta keturunan tak secara otomatis menjadi kepala
pemerintahan yang turun-temurun.
Wilayah
kasultanan Kutai Kartanegara
Pada masa kejayaannya hingga tahun
1959, Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura memiliki wilayah kekuasaan
yang sangat luas. Wilayah kekuasaannya meliputi beberapa wilayah otonom yang
ada di provinsi Kalimantan Timur saat ini, yakni:
Kabupaten
Kutai Kartanegara
Kabupaten
Kutai Barat
Kabupaten
Kutai Timur
Kota
Balikpapan
Kota Bontang
Kota
Samarinda
Kecamatan
Penajam
Dengan demikian, luas dari wilayah Kesultanan Kutai
Kartanegara hingga tahun 1959 adalah seluas 94.700 km2. Pada tahun 1959,
wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara atau Daerah Istimewa Kutai dibagi menjadi
3 wilayah Pemerintah Daerah Tingkat II, yakni Kabupaten Kutai, Kotamadya
Balikpapan dan Kotamadya Samarinda. Dan sejak itu berakhirlah pemerintahan
Kesultanan Kutai Kartanegara setelah disahkannya Pemerintah Daerah Tingkat II
Kabupaten Kutai
F. Dihidupkannnya Kembali Kesultanan
Kutai Kartanegara
Ada upaya kembali dari Bupati
Kartanegara, Syaukani, Syaukani Hasan Rais, Untuk kembali menghidupkan
Kesultana Kutai Kartanegara pada era reformasi. Upaya ini dimulai tepatnya pada
tahun 1999. Upaya ini ditempuh dengan alas an untuk membangun pariwisata dan
menjaga cagar budaya.
Upaya tersebut menunai hasil pada tahun 2001, ketika
Pemerintah Republik Indonesia melalui Presiden Abdurrahman Wahid mengizinkan
dan mengakui pendirian kembali Kesultanan Kartanegara ing Martadipura yang
ditandai dengan pengangkatan Putra Mahkota, H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya
Adiningrat diangkat sebagai sultan di Kesultanan Kutai Kartanegara ing
Martadipura dengan gelar sulatan Haji Aji Muhammad Salehuddin II.
Silsilah Sultan Kartanegara:
Aji Batara
Agung Dewa Sakti (1300-1325)
Aji Batara
Agung Paduka Nira (1325-1360)
Aji Maharaja
Sultan (1360-1420)
Aji Raja
Mandarsyah (1420-1475)
Aji Pangeran
Tumenggung Bayabaya (1475-1545)
Aji Raja
Mahkota Mulia Alam (1545-1610)
Aji
Dilanggar (1610-1635)
Aji Pangeran
Sinum Panji Mendapa ing Martapura (1635-1650)
Aji pangeran
Dipati Agung ing Martapura (1650-1665)
Aji Pangeran
Dipati Maja Kusuma ing Martapura (1665-1686)
Aji Ragi
Gelar Ratu Agung (1686-1700)
Aji Pangeran
Dipati Tua (1700-1710)
Aji Pangeran
Anum Panji Mendapa ing Martapura (1710-1735)
Aji Muhammad
Idris (1735-1778)
Aji Muhammad
Aliyeddin (1778-1780)
Aji Muhammad
Muslihuddin (1780-1816)
Aji Muhammad
Salehuddin (1816-1845)
Aji Muhammad
Sulaiman (1850-1899)
Aji Muhammad
Alimuddin (1899-1910)
Aji Muhammad
Parikesit (1920-1960)
Haji Aji
Muhammad Salehuddin (1999-sekarang)
G. Sejarah Museum Mulawarman
Museum Mulawarman adalah istana dari Kesultanan Kutai Kartanegara dibangun pada tahun 1963 sebagai pengganti Istana sebelumnya yang terbakar
dan diresmikan pada tanggal 25 November 1971 oleh Gubernur Abdoel Wahab Sjahranie, lalu diserahterimakan kepada Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 18 Februari 1976. Kini
telah dibangun Balai Kedaton sebagai tempat kediaman Sultan Aji Muhammad Salehuddin II yang telah dinobatkan kembali pada tahun 2002. Di dalam lingkungan Istana kesultanan
terdapat pemakaman keluarga kerabat Kerajaan Kutai Kartanegara serta Masjid Jami' Aji Amir Hasanuddin sebagai saksi masuknya Islam di Kutai.
Museum yang sebelumnya adalah bangunan Keraton Kesultanan Kutai Kartanegara ini didirikan pada tahun 1932 oleh Pemerintah Belanda yang menyerahkan
Keraton kepada Sultan Adji Muhammad Parikesit pada tahun 1935. Bahan bangunannya didominasi oleh beton mulai
dari ruang bawah tanah, lantai, dinding, penyekat hingga atap. Di halaman depan
Museum terdapat duplikat Patung Lembuswana yang merupakan lambang Kerajaan Kutai Kartanegara. Arsitektur dari museum ini mengadopsi dari
arsitektur tradisional Suku Dayak yang ada di Kutai.
Di dalam Museum Mulawarman tersimpan
benda-benda sejarah yang pernah digunakan oleh Kesultanan seperti Singgasana,
Tempat Peraduan, Pakaian Kebesaran, Tombak, Keris, Meriam, Kalung dan Prasasti Yupa serta Koleksi Keramik Cina. Setiap tahun dilaksanakan Upacara Erau, yaitu tarian Khas Kedaton Upacara Adat dan Mengulur Naga di Desa Kutai Lama. Dimana pada setiap pelaksanaan Erau juga ditampilkan atraksi Seni Budaya baik
berupa Tarian Tradisional dan Upara Adat dari berbagai Suku lainnya di Indonesia serta mancanegara.
H.
Balai
Kedaton Kesultanan Kutai Kartanegara
bentuk istana Sultan Kutai hanya ada
pada masa pemerintahan Sultan A.M. Sulaiman yang kala itu beribukota di
Tenggarong, setelah para penjelajah Eropa melakukan ekspedisi ke pedalaman
Mahakam pada abad ke-18. Carl Bock, seorang penjelajah berkebangsaan Norwegia
yang melakukan ekspedisi Mahakam pada tahun 1879 sempat membuat ilustrasi
pendopo istana Sultan A.M. Sulaiman. Istana Sultan Kutai pada masa itu terbuat
dari kayu ulin dengan bentuk yang cukup sederhana.
Setelah Sultan Sulaiman wafat pada
tahun 1899, Kesultanan Kutai Kartanegara kemudian dipimpin oleh Sultan A.M.
Alimuddin (1899-1910). Sultan Alimuddin mendiami kedaton baru yang terletak tak
jauh dari bekas kedaton Sultan Sulaiman. Kedaton Sultan Alimuddin ini terdiri
dari dua lantai dan juga terbuat dari kayu ulin (kayu besi). Kedaton ini
dibangun menghadap sungai Mahakam. Hingga Sultan A.M. Parikesit naik tahta pada
tahun 1920, kedaton ini tetap digunakan dalam menjalankan roda pemerintahan
kerajaan.
Pada tahun 1936, kedaton kayu
peninggalan Sultan Alimuddin ini dibongkar karena akan digantikan dengan
bangunan beton yang lebih kokoh. Untuk sementara waktu, Sultan Parikesit
beserta keluarga kemudian menempati kedaton lama peninggalan Sultan Sulaiman.
Pembangunan kedaton baru ini dilaksanakan oleh HBM ( Hollandsche Beton
Maatschappij ) Batavia dengan arsiteknya Estourgie. Dibutuhkan waktu satu tahun
untuk menyelesaikan istana ini. Setelah fisik bangunan kedaton rampung pada
tahun 1937, baru setahun kemudian yakni pada tahun 1938 kedaton baru ini secara
resmi didiami oleh Sultan Parikesit beserta keluarga. Peresmian kedaton yang
megah ini dilaksanakan cukup meriah dengan disemarakkan pesta kembang api pada
malam harinya. Sementara itu, dengan telah berdirinya kedaton baru maka kedaton
buruk peninggalan Sultan Sulaiman kemudian dirobohkan. Pada masa sekarang,
areal bekas kedaton lama ini telah diganti dengan sebuah bangunan baru yakni
gedung Serapo LPKK.
Kedaton Kutai Kartanegara yang baru.
Setelah pemerintahan Kesultanan
Kutai berakhir pada tahun 1960, bangunan kedaton dengan luas 2.270 m2 ini tetap
menjadi tempat kediaman Sultan A.M. Parikesit hingga tahun 1971. Kedaton Putih
kemudian diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur pada tanggal 25
Nopember 1971. Pada tanggal 18 Februari 1976, Pemerintah Provinsi Kalimantan
Timur menyerahkan bekas kedaton Kutai Kartanegara ini kepada Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan untuk dikelola menjadi sebuah museum negeri dengan
nama Museum Mulawarman. Di dalam museum ini disajikan beraneka ragam koleksi
peninggalan kesultanan Kutai Kartanegara, di antaranya singgasana, arca,
perhiasan, perlengkapan perang, tempat tidur, seperangkat gamelan, koleksi
keramik kuno dari China, dan lain-lain.
Dalam lingkungan kedaton Sultan
Kutai terdapat makam raja dan keluarga kerajaan Kutai Kartanegara. Jirat atau
nisan Sultan dan keluarga kerajaan ini kebanyakan terbuat dari kayu besi yang
dapat tahan lama dengan tulisan huruf Arab yang diukir. Sultan-sultan yang
dimakamkan disini di antaranya adalah Sultan Muslihuddin, Sultan Salehuddin,
Sultan Sulaiman dan Sultan Parikesit. Hanya Sultan Alimuddin saja yang tidak
dimakamkan di lingkungan kedaton, dia dimakamkan di tanah miliknya di daerah
Gunung Gandek, Tenggarong.
Pada tanggal 22 September 2001, putra
mahkota H. Aji Pangeran Praboe Anum Surya Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan
Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan H.A.M. Salehuddin II. Dipulihkannya
kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ini adalah sebagai upaya untuk
melestarikan warisan budaya Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia
agar tak punah dimakan masa. Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara telah
membangun sebuah istana baru yang disebut Kedaton bagi Sultan Kutai Kartanegara
yang sekarang. Bentuk kedaton baru yang terletak disamping Masjid Jami' Aji
Amir Hasanuddin ini memiliki konsep rancangan yang mengacu pada bentuk kedaton
Kutai pada masa pemerintahan Sultan Alimuddin.
I.
Gelar
Bangsawan di Kesultanan Kutai Kartanegara
Dalam Kesultanan Kutai Kartanegara
Ing Martadipura, gelar kebangsawanan yang digunakan oleh keluarga kerajaan
adalah Aji. Gelar Aji diletakkan di depan nama anggota keluarga kerajaan. Dalam
gelar kebangsawanan Kutai Kartanegara dikenal penggunaan gelar sebagai berikut:
Aji Sultan : digunakan untuk penyebutan nama Sultan bagi kerabat
kerajaan.
Aji Ratu : gelar yang diberikan bagi permaisuri
Sultan.
Aji Pangeran :
gelar bagi putera Sultan.
Aji Puteri :
gelar bagi puteri Sultan. Gelar Aji Puteri setara dengan Aji Pangeran.
Aji Raden :
gelar yang setingkat di atas Aji Bambang. Gelar ini diberikan oleh Sultan
hanya kepada
pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji Bambang.
Aji Bambang :
gelar yang setingkat lebih tinggi dari Aji. Gelar ini hanya dapat diberikan
oleh Sultan
kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji saja.
Aji : gelar bagi keturunan
bangsawan Kutai. Gelar Aji hanya dapat diturunkan
oleh pria
bangsawan Kutai. Wanita Aji yang menikah dengan pria biasa tidak dapat
menurunkan gelar Aji kepada anak-anaknya.
J.
Silsilah
Kerajaan Kutai
Lahirnya
Putri karang melenu disebut juga Putri Junjung Buih.
Diceritakan oleh
Constantin Alting Mees ( dalam Desertasinya”De Kroniek van Koctai”)Setelah
beramu dan membuat tangga seperti yang didalam mimpinya itu, maka berkatalah
petinggi ulu dusun kepada naga, anaknya: hai anakku baiklah engkau turun karena
tanggamu telah pupus/ selesai. Maka nagapun turun ketepian dan kedalam air, ia
berenang 7 (tujuh) kali ke hulu 7 (tujuh) kali kehilir lalu berenang ketepian
batu naga itupun beredar 3 (tiga) kali kekiri dan 3 (tiga) kali kekanan lalu
tenggelam seketika itu angina rebut mengguncang bumi, topan kilat menyambung,
guru petir dan halilintar sangat dasyat bunyinya dan airpun berombak, kemudian
langit rebut berhenti, namun sungai berombak dengan keras penuh buih yang
menggunung anak, sementara itu hujan turun rintik – rintik, angina bertiup
sepoi – sepoi, dan gemurunyapun berbunyi sayup kejauhan sepanjang ketari
membelit mega serta bunga mekar berkembang dan tanda anak raja yang agung bakal
datang, babu jaruma melihat cahaya seperti kumala didalam buih dilihatlah
seorang anak perempuan berbaring di atas sebuah gong yang datar dan gong
tersebut dibawah diatas kepala seekor naga dan naga tersebut dibawah diatas
kepala seekor lembu yakni Lembus Suana yang berdiri diatas batu ia mempunyai gading dan
belalai seperti gajah, bertaring seperti harimau, berbadan seperti kuda,
bersayap dan bertaji seperti garuda berekor dan bersisik seluruh tubuhnya
seperti naga. Lahirnya Putri Karang Melenu tersebut yang boleh dikatakan bahwa
seorang anak berbaring diatas gong papar yang kemudian dikenal sebagai Gong
Raden Galoh, terletak diatas sebuah belalai dari haor kuning/ gading bertiang
16, dijunung oleh naga – naga yang dijunjung oleh Lembuswana dan Lembuswana ini
bertijak/ berpijak diatas batu.\
Lembuswana:
-
Bergading
berbelali rupanya seperti gajah
-
Bertaring
seperti rupa macan
-
Bersisik
(bersurai) seperti rupa kuda
-
Tubuhnya
tubuh kuda bersayap
-
Bertaji
seperti rupa gurda
-
Berekor
seperti rupa naga
-
Bersisik
sepanjang tubuhnya
K.
Makhluk
Tunggangan Secepat Kilat
Lembuswana ini menurut constantin Alting
Mees, kembali dari melakukan persiapan dimahligai maka didapati mereka anaknya
(Putri junjung Buih) duduk diatas ayunan sedang menimbun atau membakar dupa
seraya seraya menghamburkan beras kuning, maka dating lah Lembuswana dan
diperintahkan oleh putri Junjungan Buih untuk membawanya ke mahligai di depan
mata orang banyak yang tercengang keheranan. Lembu Suana mahluk luar biasa yang
menyertai kelahiran Putri Karang Melenu. Ia juga berperan sebagai pelindung dan
menjaga keselamatan serta menjadi tunganganya yang agung dan perkasa
L.
Sejarah
Lembuswana
Lembuswana menurut budaya Kutai Karta negara
mempunyai makna yang nilai yang Adi luhung menyertai pertumbuhan kesultanan
Kutai karta Negara sejak pemerintahan Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325)
dijaitan layer kutai lama. Menurut Dr. W.kemudian dalam bukunya “Commentar of
de salahsila van Koetai” peninggalan
pusaka yang mengabadikan pigur Lembu Suana ini adalah sebuah ukiran diatas
sebuah kulit kerbau (buffeleer) yang disimpan dikeraton Kutai.
Lembuswana adalah mahluk dalam mitos, sebelum
masuk agama Islam yang mendorong mengangkat raja – raja Kutai pada kekuasaan
(to power) dilukiskan pada selembar panji yang sacral dengan berbentuk wujudnya
seketsa. Dimana kesultanan Kutai Kartamegara tempo dulu yang terakhir beribu
kota di Tenggarong mempunyai wilayah kekuasaan Kabupaten Kutai Kartanegara,
Kutai Barat, Kutai Timur, dan Kota Samarinda, Balik Papan Dan Bontang.
M. Misteri Lembuswana
Lembuswana merupakan perwujudan mahluk yang
luar biasa sebagi kontrol kekuasaan dan kedaulatan kerajaan Kutai yang
digambarkan dalam bentuk ujud fisik lembu sauna yang mengaandung tujuh belas
rahasia atau misteri dari keperkasaanya antara lain:
1.
Bermahkota
bukan raja
2.
Bertanduk
bukan kerbau
3.
Bertelinga
rusa/ mejangan bukan rusa/ mejangan
4.
Berbelalai
dan bergading bukan gaja
5.
Bergigi
tajam dan bertaring bukan babi
6.
Berjenggot
bukan kambing
7.
Bergelang
leher bukan binatang peliharaan
8.
Bersayab
dan berbulu bukan unggas
9.
Bersisik
bukan ikan
10. Berekor Panjang bukan singa
11. Berkaki empat bukan sapi/lembu
12. Bertaji bukan ayam
13. Berkuku t ajam bukan harimau
14. Berkelamin jantan bukan pejantan
15. Lidah menjulur bukan anjing
16. Bersunung bukan penari
17. Mahluk ini bukan yang hidup didarat , di air
maupun yang hidup diudara
Lembuswana dibuat di Thailand pada tahun 1850
dan merupakan lambang kerajaan Kutai
Kartanegara yang disebut juga dengan “Paksi Liman Gangga Yakso” dengan
bahan pembuatan lembuswana berbahan dari kuningan berbentuk binatang lembu
(sapi) yang bermahkota seperti raja, berbelalai seperti gajah, bersayap seperti
burung, bersisik seperti naga, bertaji seperti ayam, dan bertanduk sepertisapi
itulah lembuswana.
N. Sejarah Pembuatan Patung Lembuswana
Patung Lembuswana yang ada di pulau Kumala di
buat dikentolan kidung, guwosari, panjangan Bantul Yokyakarta selama enam bulan
paa tahun 2010 dan merupakan lambang kerajaan Kutai Kartanegara dan juga
disebut dengan “ paksi linan Gangga Wakso” dengan Bahasa pembuatan Lembuswana
di pulau Kumala sedangkan pengecoran patung Lembuswana dilaksanakan di kentolan
kidul, Guwosari panjangan Bantul Yokyakarta.patung Lembuswana yang berdiri ini
adalah pangganti patung Lembuswana yang duduk yang ada di pulau Kumala dan merupakan
lambang simbol Kerajaan Kutai Kartanegara dan mascot Kabupaten Kutai Kartanegara.
Patung Lembuswana yang berdiri ini adalah
pengganti patung Lembuswana yang duduk yang ada di pulau kumala dan merupakan
simbol kerajaan Kutai Kartanegara dan mascot kabupaten Kutai Kartanegara.
O. Peninggalana Kerajaan Kutai dan
Benda yang ada di Museum Mulawarman
PENINGGALAN – PENINGGALAN KERAJAAN KUTAI
1. Prasasti
Yupa
Prasasti
yupa merupakan alat bukti sejarah yang paling tua. Dari prasasti inilah,
diketahui kerajaan Kutai Martadipura terletak di Kalimantan. Prasasti yupa ini
ditulis dengan menggunakan aksara Pallawa dalam bahasa Sansakerta. Secara umum,
prasasti yupa menceritakan tentang kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan juga
kebudayaan daripada kerajaan Kutai Martadipura.
2. Ketopong
Sultan
3. Kalung
Ciwa
Kalung ini memiliki berat 170 gr.
Kalung ini berhiaskan relief yang menceritakan cerita tentang Ramayana. Kalung
ini hanya ada 2 di dunia dan kalung ini digunakan untuk penobatan sultan Kutai
Kartanegara Kalung uncal dipergunakan
untuk atribut kerajaan. Kalung uncal ini dipakai oleh Sultan Kutai Kartanegara
setelah Kutai Martadipura.
Dari penelitian yang dilakukan kalung ini ternyata
bersalah dari India. Dan konon hanya ada 2 di dunia dan yang satu di India dan
yang satu peninggalan Kutai Kartanegara yang sekarang disimpan di Museum
Mulawarman. Peninggalan sejarah kerajaan Kutai ini pertama kali ditemukan oleh
masyarakat di sekitar danau Lipan, Muara Kaman pada tahun 1890 pada masa
pemerintahan Sultan Aji Muhammad Sulaiman. Biasanya, perhiasan ini dipakai oleh
para raja-raja kerajaan Kutai. Sampai saat ini, kalung Ciwa masih digunakan
oleh sultan dan hanya digunakan saat adanya penobatan sultan baru.
4. Kura-Kura
Emas
Peninggalan
sejarah yang satu ini terbilang unik, karena wujudnya yang berbentuk seperti
kura-kura emas. Benda yang memiliki ukuran sebesar kepalan tangan ini ditemukan
di daerah Long Lalang, sekitar sungai Mahakam. Kura-kura emas ini sebenarnya
adalah sebuah persembahan dari seorang pangeran kerajaan China untuk putri raja
Kutai yang bernama Aji Bidara Putih. Kura-kura ini merupakan bukti cinta
pangeran untuk sang putri. Saat ini, benda ini amsih tersimpan di museum
Mulawarman.
5. Pedang
Sultan
Pedang ini merupakan pedang yang sering digunakan oleh
raja Kutai. Pedang ini terbuat dari emas padat yang memiliki motif pada bagian
gagang berbentuk ukiran harimau yang siap menerkam mangsanya. Serta pada bagian
ujung pedang, terdapat ukiran buaya. Pedang ini disimpan di Museum Nasional
Jakarta.
6. Keris
Bukit Kang
Keris ini
merupakan keris yang digunakan oleh permaisuri Aji Putri Karang Melenu. Menurut
penuturan masyarakat setempat, putri ini ditemukan dalam sebuah gong yang
hanyut diatas bilah bamboo. Di dalam gong ini juga terdapat telur ayam dan
sebuah keris.
7.
Singgasana
Singgasana
atau tempat duduk raja ini masih tersimpan sampai sekarang di museum
Mulawarman. Singgasana ini dilengkapi dengan payung, umbul-umbul, serta
peraduan pengantin Kutai Keraton.
8. Tali
Juwita
Tali JuwitaTali Juwita merupakan peninggalan dari
Kerajaan Kutai yang mewakilkan simbol 7 muara serta 3 anak sungai yakni sungai
Kelinjau, Belayan dan juga Kedang Pahu di Sungai Mahakam. Tali Juwita ini
dibuat dari 21 hela benang dan biasanya dipakai pada upacara adat Bepelas.Utasan
tali ini terbuat dari emas, perak dan juga perunggu dengan hiasan 3 bandul
berbentuk gelang dan 2 buah permata mata kucing serta barjat putih dan untuk
bandul lain berbentuk lampion dengan hiasan 2 bandul berukuran kecil. Tali
Juwita ini berasal dari kata Upavita yaitu kalung yang diberikan pada raja.
10.
Kelambu Kuning
Ada beberapa benda yang
merupakan peninggalan dari Kerajaan Kutai yang dipercaya mempunyai kekuatan
magis oleh adat Kutai sampai sekarang dan ini semua disimpan dalam
kelambukuning agar terhindar dari bala serta tuah yang dihasilkan. Beberapa
benda yang disimpan dalam Kelambu Kuning ini diantaranya adalah Sangkoh Paitu,
Gong Bende, Arca Singa, Tajau, Kelengkang Besi, Gong Raden Galuh dan juga
Keliau Aji Siti Berawan.
11. Meriam
Meriam ini dulunya dipakai untuk pertahanan
Kerajaan Kutai yang berjumlah sebanyak 4 buah dan masih terjaga hingga
sekarang. Keemapt meriam tersebut adalah Meriam Aji Entong, Meriam Sapu Jagat,
Meriam Gentar Bumi dan juga Meriam Sri Gunung.
Berbagai
keramik kuno yang menurut perkiraan berasal dari dinasti kekaisaran Cina juga ditemukan
pada timbunan dekat Danau Lipan. Ini menjadi sebuah bukti, jika Kerajaan Kutai
dan juga Kekaisaran China sudah melakukan hubungan perdagangan yang bagus dari
sejak dulu. Ratusan Keramik Kuno Tiongkok ini menjadi peninggalan dari Kerajaan
Kutai yang disimpan pada ruang bawah tanah Museum Mulawarman Tenggarong, Kutai
Kartanegara.
Seperangkat
gamelan juga disimpan pada Museum Mulawarman dan gamelan gamelan tersebut
diyakini berasal dari Pulau Jawa. Selain itu, juga ada berbagai barang lain
seperti pangkon, keris, topeng, wayang kulit dan beberapa barang yang terbuat
dari kuningan serta perak yang menjadi peninggalan dari Kerajaan Kutai yang
juga menjadi bukti hubungan erat terjalin antara Kerajaan di daerah Jawa dengan
Kerajaan Kutai Kartanegara.
Sesuai dengan
namanya keramik ini berasal dari kekaisaran China. Seperti peninggalan
sebelumnya bahwasanya Kerajaan Kutai sudah menjalin kerjasama juga dengan
Kerajaan China. Keramik Kuno Tiongkok ini ditemukan lumayan banyak bahkan
sampai ratusan dan di tempatkan di Museum Mulawarman.
16. Koleksi Numismatika (mata uang dan alat tukar lainnya)
17.
Hasil kerajinan manik
Manik merupakan benda kecil, unik, dan menarik yang
dirangkai lironce menjadi untaian yang dijadikan hiasan atau ditempelkan pada
benda lain. Manik bisa befungsi sebagai benda status sosial, upacara adat,
jimat yang memilikikekuatan gaib, sebagai perlengkap pakaian adat serta benda
yang diperjualbelikan. Penggunaan manik sudah ditemukan sejak tahun 6500 SM.
Pusat pembuatan manik adalah di Mesopotamia, Mesir, Tunisia, Romawi, China, dan
Indhia.
Di Kalimantan Manik telah dipakai sejak abad 10 Masehi. Pada
awalnya manik di buat dari bahan alam yang mudah dilubangi seperti buah, bagian
tubuh binatang seperti taring babi, harimau dan lain-lain. Selain itu juga dari
kulit kerrang dan kayu. Selanjutnya manik dibuat dari bahan batu seperti batu
akik, oniks, kornelian, batu yaspis, kalsedon. Kemudian muncullah manik yang
dibuat dari kaca yang diperkirakan seumur dengan penggunaan logam karena dari
pengolahannya sama-sama menggunakan api.
Fungsi manik pada masyarakat Kalimantan timur
1. Sebagai perhiasan tubuh dan
perhiasan rumah tangga.
2. Sebagai perhiasan penganten.
3. Sebagai lauda ikatan dan mas kawin.
4. Sebagai alat tukar, bayar denda adat
serta adat tukar budak.
5. Sebagai lambing status sosial.
6. Sebagai hiasan pakaian adat dan
kesenian.
7. Sebagai jimad dan penolak bala.
8. Sebagai pengusir roh jahat dalam
proses pengobatan tradisional.
9. Sebagai berkat kubur.
Museum Kayu Tuah
Himba Tenggarong
Terletak di kawasan
Waduk Panji Sukarame, Tenggarong, Kalimantan Timur, Museum Kayu dibangun pada
tahun 1990-an dibangun dengan bangunan kayu sebagai bahan dasar dan berbentuk
rumah panggung yang berukuran 20 × 20 M, museum ini memiliki nama lengkap
Museum Kayu Tuah Himba.
Sebelum kita memasuki
museum kita dapat melihat di arah parkiran terlihat 3 jenis rumah yang
merupakan rumah khas kalimantan
|
|
|
Rumah Dinding Kulit Kayu
Kerangka
: Kayu Sungkai
Dinding
: Kulit Kayu Karnanga
Atap :
Daun Nipah
Lantai :
Bambu Jelayan
|
Rumah Dinding Kajang
Kerangka
: Kayu Sungkai
Dinding
: Daun Bengkuang
Atap :
Daun Nipah
Lantai :
Bambu Jelayan
|
Rumah Papan Susun Sirih
Kerangka
: Kayu Keruing
Dinding
: Kayu Meranti
Atap :
Sirap
Lantai :
Kayu Meranti
|
|
|
|
Pada saat kita
berjalan kearah museum kita melihat berbagai tumbuh – tumbuhan khas kalimantan
yang ada disekitar museum
|
|
|
|
|
|
Dari depan museum
kita dapat melihat replika patung Lembuswana yang ada di museum dibuat di
Jogjakarta tahun 2010, menjadi koleksi Museum Kayu sejak tanggal 29 Desember
2010 dan koleksi asli disimpan di Museum Mulawarman,
Dibelakang
patung Lembuswana terlihat buaya yang berukuran sangat besar dan buaya buaya
ini telah diawetkan. Pasalnya buaya-buaya tersebut sempat membuat geger
masyarakat Kalimantan Timur di tahun 1996, dengan memangsa dua manusia di dua
tempat terpisah hanya dalam selisih waktu satu bulan. Sehingga, kedua buaya
tersebut oleh masyarakat sekitar mendapat julukan sebagai “Monster dari Sangatta”
Buaya Muara
Habitat : Daerah Rawa, Muara Sungai, Air Payau
Asal : Sungai Kenyamukan, Sangata
Umur : ± 70 Tahun
Jenis Kelamin : Jantan
|
Buaya
pertama ditemukan pada 8 Maret 1996 di sungai Kenyamukan, Kecamatan Sangatta,
Kabupaten Kutai. Buaya itu telah memangsa seorang wanita berusia 35 tahun
yang bernama Nyonya Hairani. Saat ditangkap,buaya dengan jenis kelamin jantan
tersebut berusia 70 tahun dengan panjang sekitar 6,8 meter berat 350 kg, dan
lingkar perut 1,8 meter.
|
Buaya Muara
Habitat : Daerah Rawa, Muara Sungai, Air Payau
Asal : Desa Tanjung Limau, Muara Badak
Umur : ± 60 Tahun
Jenis Kelamin : Betina
|
Sedangkan yang betina berhasil ditangkap
pada tanggal 10 April 1996 di Tanjung Limau, Kecamatan Muara Badak, Kabupaten
Kutai Kertanegara. Buaya tersebut telah memangsa seorang pria bernama Baddu
berusia 40 tahun. Buaya yang telah memangsa pria ini memiliki berat 200 kg,
lingkar perut 1 meter dan memiliki panjang 5,5 meter. Lebih kecil dari buaya
sebelumnya.
|
Disamping kanan buaya
terdapat lempengan kayu kapur dengan diameter 60 cm. Di alam pohon ini mampu
tumbuh hingga ketinggian 60 meter. Kayu ini biasa digunakan sebagai pondasi
bangunan.
Di
dalam museum terdapat 4 ruangan yang terbagi atas berbagai koleksi berupa jenis
daun, fosil kayu, kerajinan, berbagai patung dan miniatur rumah yang tersusun
rapi di sudut – sudut ruang.
Ruangan
Pertama (Kerajinan)
Ruangan pertama yang dikhususkan
untuk menyimpan koleksi kerajinan berbahan dasar rotan. Kerajinan yang menjadi
koleksi seperti prabotan rumah, lampu taman, kursi, hingga jenis rotan yang
sebagai bahan dasar pembuat aneka kerajinan tersebut.
Ruangan
Kedua (Patung, Ukiran)
Ruangan kedua dengan koleksi ukiran kayu khas
Kalimantan, Patung khas Dayak Kenyah yang melengkapi kerajinan yang tersusun
rapi di sudut ruangan
Ruangan
Ketiga (Daun – Daun dan Fosil Kayu)
Ruangn
Keempat ( Jenis – Jenis Kayu)
Ruangan
yang lain tersimpan berbagai jenis – jenis kayu yang tersebar dari seluruh
hutan di Kalimantan Timur.
Disamping itu, ada berbagai
koleksi lain yang berada di luar ruangan seperti biji – bijian, alat musik, jam
jadul, kepiting, berang – berang dan lain – lain.
Kepiting Pemakan Sari
Kelapa
Berang - Berang
Alat Musik
Biji – Bijian
Fosil Kayu
Yang terakhir adalah foto dimana
pada saat dilaksanakannya ERAU di Tenggarong tahun 1992.
ERAU
1992
Dalam perhelatan tersebut, rakyat dari berbagai penjuru negeri berpesta ria dengan mempersembahkan sebagian dari hasil buminya untuk dibawa ke Ibukota Kesultanan. Hal ini berkaitan dengan salah satu fungsi dari Erau sebagai wujud rasa syukur atas limpahan hasil bumi yang diperoleh rakyat Kutai. Keluarga besar Kesultanan pun menjamu rakyatnya dengan beraneka sajian sebagai bentuk rasa terima kasih atas pengabdian mereka kepada Kesultanan.
Menurut riwayat yang diyakini masyarakat Kutai secara turun temurun, Erau bermula sejak abad ke-12 Masehi. Catatan sejarah menyebutkan Erau pertama kali berlangsung saat Aji Batara Agung Dewa Sakti berusia belia. Ia dikemudian hari diangkat menjadi sultan pertama Kutai Kartanegara Ing Martadipura.
Seiring perjalanan waktu, Kesultanan Kutai kemudian bergabung dalam wilayah Republik Indonesia. Sampai dengan tahun 1960, Kutai berstatus Daerah Istimewa dengan Sultan sebagai kepala daerah. Setelahnya, status Kutai beralih menjadi kabupaten dan kepala pemerintahan dipegang oleh bupati. Peralihan ini menjadi penanda berakhirnya era Kesultanan Kutai yang telah berdiri selama lebih dari 7 abad. Meski demikian, Erau sebagai salah satu peninggalan budaya dari Kesultanan Kutai tetap bertahan.
Erau yang dilangsungkan menurut tata cara Kesultanan Kutai terakhir kali diadakan pada tahun 1965. Kemudian, atas inisiatif pemerintah daerah dan izin dari pihak Kesultanan, tradisi ini mulai dihidupkan kembali pada tahun 1971. Hanya saja, penyelenggaraannya tidak satu tahun sekali melainkan menjadi dua tahunan dan dengan beberapa persyaratan. Sejak saat itulah pelaksanaan Erau menjadi ajang pelestarian budaya warisan Kesultanan Kutai dan berbagai etnis yang hidup di dalamnya.
Erau dilangsungkan bertepatan dengan hari jadi Kota Tenggarong, yaitu setiap tanggal 29 September. Tetapi, sejak tahun 2010, pelaksanaan festival ini dimajukan menjadi Bulan Juli karena menyesuaikan dengan musim liburan sehingga lebih banyak wisatawan yang datang. Festival ini dimeriahkan oleh beraneka kesenian, upacara adat dari Suku-suku Dayak, dan lomba olahraga ketangkasan tradisional.
Tahun 2013 menjadi penanda era baru dari pelestarian budaya warisan Kutai Kartanegara. Untuk pertama kalinya, Erau disandingkan dengan perhelatan budaya tradisional dari berbagai negara. Dalam perhelatan bernama Erau International Folklore and Art Festival (EIFAF), berbagai kesenian dan tradisi di lingkup Kesultanan Kutai bersanding dengan warisan budaya dunia dari berbagai bangsa di penjuru dunia. Ajang ini sekaligus memperkenalkan peninggalan kearifan lokal masyarakat Kutai kepada dunia. Para delegasi dari berbagai negara diundang untuk ikut terlibat dalam berbagai ritual adat yang berlangsung selama pelaksanaan Erau
BAB
III
KESIMPULAN
Manusia yang baik adalah manusia yang
selalu ingat sejarahnya; dimana ia berasal, serta bagaimana ia dilahirkan.
Sekiranya cukuplah banyak suatu peninggalan yang terpajang dalam museum,
sehingga dengan mengunjunginya manusia akan mengetahui bagaimana kehidupan
leluhurnya.
Tidak hanya sekedar mengetahui, tetapi
meluruskan dan meneruskan adalah hal yang sangat diidamkan oleh pendahulu,
setidaknya dengan melestarikan dan menjaga suatu peninggalan sejarah, kita
telah mencoba untuk menghargai suatu karya yang telah lahir dimana masa sebelum
kita ada. Oleh karena itu, manusia yang mengingat dan menjaga kelestarian
sejarahnya adalah manusia yang benar-benar manusia, manusia yang pantas disebut
manusia, karena telah menghargai karya leluhurnya
Dengan Berkunjung Ke
Museum Mulawarman Kita bisa melihat dan menambah pengetahuan tentang kehidupan
masa lalu pada zaman kerajaan yang dapat kita lihat dari benda-benda
peninggalan zaman yang masih ada sampai saat ini dan terjaga dengan baik dan di
dalam Museum terdapat banyak koleksi benda-benda bersejarah seperti keramik
cina, prasasti yupa dan masih banyak lagi secara tidak langsung museum tersebut
menjadi bahan edukasi bagi kita yang belum atau tidak tahu akan sejarah
kerajaan kutai dan benda-benda peninggalannya.
0 komentar:
Posting Komentar